sekedar cerita egoku

Emely, nama yang ku kenal sejak kecil itu kini selalu melihatku dengan pandangan dingin. Nama itu dulu yang selalu ada ketika aku sepi dan terjatuh, namun kini ia tak lagi mengatakan “Hai” padaku. Sapa yang kurindu hilang dalam sekejap mata. Aku sangat menyesal ketika dari mulutku tetuah kata yang sebenarnya tak tak perlu ku ungkapkan dengan nada yang kasar tapi itu sudah terlanjur hadir dan tak mampu ku ulang lagi.
“ada apa loe dengan Emely???” kata siti temanku ketika melihat Emely melempar  muka asem padaku. Bukan karena ia marah padaku tapi ia masih kesal dengan kataku. Jika aku boleh jujur, sebenarnya aku tak bermaksud untuk melarang Emely berteman sama Fredy tapi aku tahu siapa Fredy sebenarnya serta seberapa pandai gayanya  mempermainkan hati wanita.
“ sudahlah sit, gak usah difikirkan, lagi dapet mungkin.” Kataku seolah acuhkan sikap Emely.
“Lagi marahan ya...???” kata temanku mengira-ngira.
Aku juga sebenarnya gak enak sama Emely. Gara-gara hal sepele persahabatan kami yang bisa dibilang lama itu harus kandas sampai disini.

            Sampai detik kami tak pernah bersama lagi, sepi emang terasa disetiap hariku tapi ego ini tak mampu ku pungkiri. Aku juga bingung entah ego ini positif atau negatif yang jelas aku tak setuju jika Emely berteman sama fredy yang dikenal sebagai playboy cap kadal mabok.
“kenapa boy diem aja dari tadi???” kata siti menggodaku lagi.
“kesepian ya, gak ada Emely??”tambahnya
“Emang salah ya sit kalau aku melarang Emely gaul sama fredy?” curahku pelan kepada siti.
Belum sempat siti menjawab Eno datang membawa kabar yang sempat tak ku percaya bahwa Emely sudah jadian sama Fredy. Begitu seperti tertampar petir di siang hari, aku terdiam tak berkutik. Aku hanya dapat tersenyum terpaksa yang seharusnya senyum itu tak menjajah parasku. Entah rasa ini cemburu atau apa yang pasti aku hancur saat itu.
            Sampai malam ini aku masih belum berkomunikasi sepatah katapun ke Emely bahkan aku lebih menutup diri darinya karena egoku. Ku terduduk malam ini pada sebilah kayu yang rapuh dan keropos. Aku bertanya pada barisan bintang “salahkah jika aku menghindar dari sahabatku hanya karena fredy yang menurutku sangat amat tidak baik itu??? Tapi bukankah aku lebih salah jika aku membiarkan erna merasakan cinta fredy yang kurasa hanya butuh sensasi saja.” Kataku pada serpihan bintang yang tak kukenal. Kebingungan benar-benar menguasai hatiku yang masih ragu akan kebenaran yang sebenarnya.
            Seminggu berlalu, aku bersama siti ke perpus hanya sekadar membaca-baca komik dan novel  edisi lama, aku pikir yah daripada gak ada kerjaan mending baca seadanya yang penting menarik.
“gimana kabar erna?”tanya siti padaku

“Udah seminggu ini aku gak kontek-kontekan sama Emely sit, ya mungkin ia sudah bahagia dengan fredy jadi ngapain aku urusin dia?”
“tapi bagaimanapun dia kan tetep sahabatmu.”
“sahabat dari mana, orang dia ketemu aku aja ogah”
Begitu acuh aku saat ini ke Emely seolah tak peduli, padahal sebenarnya aku masih khawatir dengan erna. Seketika itu aku memandangi pohon yang menggugurkan daunnya. Aku menunduk dan memegang daun itu. Daun ini mengajarkan aku betapa perihnya kehilangan sebagian dari kita yang kita cintai.
            Tiga minggu sejak pertengkaranku dengan Emely, aku benar-benar merasa kesepian. Ku coba mencari kesibukan tapi alhasil fikiran tentang Emely tetap membayangi setiap  langkah yang rapuh ku jalani. Akhirnya aku jenuh dengan keadaan ini dan aku memutuskan utntuk meminta maaf pada Emely. Sayang aku masih menyimpan ego itu dan kesal itu masih meracuni hatiku yang bingung pada kebenaran. Ketika tiba di depan rumah erna begitu berat hati aku menuju pintu, tapi demi persahabatan aku melakukanya . “tok...tok...tok...” perlahan aku mengetuk pintu tapi tak seorangpun menjawab, ku ulangi dengan nada yang lebih keras dan masih tak ada jawaban. Ketika kutemui pintu tak terkunci aku langsung masuk dan kudapati erna sedang menadahkan pisau di pergelangan tangan. Dengan sigap aku merebut pisau dari tangan kanan erna ynga siap membuh erna. Gemuruh petir menambah suasana cekam di kamar erna yang ia tinggali sendirian karena orang tua erna yang selalu sibuk dan derada di luar kota. Ia langsung memelukku erat seperti orang yang akan tercabut nyawanya ooleh malaikat. Menangis hanyalah hal yang mampu di lakukan erna saat ini.
“maafin aku na, aku tlah salah ninggalin kamu sendiri.”
“aku yang salah, coba aku dengerin kata kamu, pasti gak akan kejadian kaya gini.” Katta erna dihiasi isak tangis yang tak dapat dibendung erna. Aku merasa kecewa ketika erna berkata bahwa ia telah hamil dari fredy. Begitu kesal aku pada diriku. Aku termenung sejenak dan aku baru sadar bahwa persahabatan adalah saling menghargai, aku masih ingat pada buku yang pernah aku baca bahwa orang paling tidak senang jika ditentang pendapatnya (tidak dihargai),  dan semestinya sahabat bukanlah memaksa atau membatasi tapi sahabat itu hanya bisa mengingatkan dan mensupport. Dan jangan sekali-kali meninggalkan sahabat kita ketika kita tahu bahwa pilihan atau jalan yang ditempuhnya salah.
Justkidding...

Previous
Next Post »