Ayah
tak lagi mau mengerti aku semenjak sibuk dengan temannya yang sering aku sebut dengan panggilan om rendy. Sebenarnya aku gak
mau memanggilnya dengan sebutan om karena dia bukan siapa-siapaku. bagiku ia
lebih seperti badut yang selalu membuat ayahku terhibur dengan perut besarnya
sampai-sampai melupakan aku. Hari ini ayah tak ada di rumah. Aku jadi bosan
dengan keadaan ini. Bila sudah seperti ini aku hanya bisa main PS bersama bik
nah, pembantu yang merawatku semenjak kecil. Sejak balita aku tak pernah
mengenal sosok ibu. Kata ayah ibu sudah meninggal sewaktu melahirkanku. Hanya
kasih sayang bik nahlah yang aku kenal dan hanya bik nah yang mengerti aku
disaat aku sedih dan kesepian.
“bik, ayah mana bik?”
tanyaku pada bik nah.
“belum pulang den.”
jawab bibik sambil menata piring untuk aku sarapan
“kok belum pulang bik?
Berarti dari tadi malam ayah gak pulang dong?”
“udah aden sarapan
dulu. Ayah aden kan sibuk nyari uang buat aden. Mungkin lagi lembur kali.”
Sepertinya tiap pagi
selalu seperti ini kejadiannya. Ayah gak pernah ada setiap sarapan pagi. Aku
mulai menjadi kesal. Sudah 2 bulan ini ayah gak pernah ada setiap jam sarapan
pagi. Begitu juga sepulang aku dari sekolah.
Biasanya
tiap hari sabtu dan minggu ayah selalu berpesan kepada bibik untuk menitipkan
aku pada tetangga kami sebab tetangga kami itu mempunyai anak seumuranku,
namanya Rhenata. Kata bibik agar aku ada temennya. Tapi walau ada yang nemenin
aku masih saja kesepian. Aku juga bosan jika harus berada dirumah tetangga kami
yang aneh itu. Bagaimana tidak aneh, bahkan ia lebih menyukaiku ketimbang anaknya. tapi aku sama sekali tak suka dengannya. Aku
paling benci ketika ia memelukku. Parfumnya begitu aneh di penciumanku membuat
perutku mual. Apa lagi ketika ia mulai menciumku, bibirnya selalu menyisakan
lipstik merona yang tak pernah aku sukai. Tapi anaknya cantik dan baik hati,
walau begitu itu tak mempengaruhi aku untuk betah tinggal di rumahnya. Aku hanya bisa
duduk memandangi halaman yang sering membuatku agak suka dengan rumah ini.
Halamannya begitu bersih dan banyak pepohonan yang akan melindungi aku dari
sinar matahari. Siang itu aku duduk sendiri di beranda rumah itu Tiba2 Renatha
si anak tante aneh itu datang menghampiriku dengan segelas es jeruk di
tangannya.
“kamu mau?” kata retha
menawarkan padaku.
“enggak, aku gak haus.”
Ujarku dengan nada pelan.
“coba dikit sajalah.”
“aku bilang gak mau ya
gak mau, ngerti gak sich?!!” kataku keras sambil mengalihkan gelas itu dari
pandanganku. Gelas itupun pecah di hadapanku. Tak pernah aku menolak seperti
itu sebelumnya mungkin karena aku terlalu marah dengan keadaan ini. Aku baru
sadar betapa jahatnya aku ketika ku tatap matanya melinangkan serpihan air
mata.
“Retha, maafin aku, aku
gak bermaksud kasar padamu.” Cetusku pada Retha sambil membantu Retha membersihkan
serpihan gelas yang terserak. Aku tertegun ketika ia dengan begitu saja
memaafkan aku walaupun aku sudah begitu kasar pada Retha.
“Aku tahu kamu gak
terlalu suka dengan rumaku inikan?” cetus Retha tiba-tiba.
“enggak kok, aku suka
dengan rumah kamu.”
“jangan bohong, dan
kamu Cuma suka dengan halaman rumahku.”
aku terdiam ketika Retha berkata itu. Kenapa Retha bisa tahu apa yang
aku rasakan.
“a..aku suka semua
bagian rumah kamu kok.” Kataku tesendat-sendat karena rasa heran yang menaungi
kepalaku.
“Gak usah bohong.
Semuannya terlihat jelas kok dari cara kamu memandang. Setiap kamu tiba di
rumahku sepertinya kamu banyak bengong, Ada masalah ya?” kata Retha
menerka-nerka.
“ee…ini tentang ayahku.
Semenjak ketemu sama om Rendy.” Kataku mulai bercarita. Begitu banyak yang aku
ceritakan ke Rheta tapi ia tak berkomentar apapun tentang ceritaku itu. Sampai
tak terasa awan mulai memerah dan mataharipun enggan menemani indahya sore kami
saat itu.
Aku pulang kerumah dengan penat yang masih melekat dalam
diriku. Sesampai di depan gerbang rumah aku belum melihat mobil ayahku di
halaman. Aku pun tahu bahwa ayah pasti belum pulang dan masih sibuk dengan om
gendut itu.
“aku pulang.”
“eh, aden sudah pulang”
kata bibik menyambutku.
“Ayah masih belum
pulang ya bik?” kataku kesal.
“ udah aden mandi dulu
setelah itu aden sarapan, sarapannya udah bibik siapkaan kok pasti enak.” Kata
bibik penuh semangat. Mesti seperti ini, setiap aku tanya tentang ayah, bibik
selalu mengalihkan pembicaraan.
“aku gak laper bik.” Ajarku
dan langsung menuju ke kamar.
Aku semakin gak betah,
bahkan di rumahku sendiri. Tiba-tiba bibik menghampiriku ke kamarku yang berada
di lantai 2. Dengan pelan bibik mengetuk pintu itu.
“Den, ayo sarapan dulu,
ntar bibik dimarahin sama tuan.” Ajak bibik dari luar pintu.
Tapi aku pura-pura tak
mendengar, dan menutupi telingaku dengan bantal. Tapi semakin rapat aku menutup
telingaku sepertinya semakin jelas suara itu terdengar. Sepertinya aku tak
tahan dengan teriakan bibik yang terus memanggilku dan akupun menyerah.
“kenapa?!!!” kataku keras sambil membuka pintu kamarku.
“aden makan dulu.” Kata
bibik pelan.
Akhirnya dengan
terpaksa akupun menuju ke ruang tengah. Disana berbagai makanan tersedia dari
yang terbuat dari sayur-sayuran sampai daging. Semuanya begitu enak tetapi tak
seenak keadaanku saat ini.
“bik, sebenarnya ayah
kemana?” tanyaku.
“sudah, aden makannya
dihabisin dulu biar kenyang.”
“mesti seperti ini.
kenapa sich bibik selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku tanya tentang ayah.
Apa aku tak berhak tahu ayah dimana?!!!”
“Buk…bukan git…”
“apa?!! Kenapa ayah gak
pernah di rumah. Dulu aja ayah selalu dirumah tapi sekarang ketemu buat sarapan
aja gak pernah bisa. Rasanya aku seperti gak punya ayah. Kenapa sich ayah gak
mati saja. Dari pada gak pernah dirumah.” Kataku marah dan tangis itu jatuh h
di pelukan bibik.
“ya Allah, istighfar
den. Aden gak boleh bicara seperti itu.” Kata bibik menenangkanku dalam
peluknya.
Secepat kata itu keluar
secepat itu pula sebuah tabrakan terjadi tepat di depan rumahku.
“gubraaaakkkkk….”
Suara itu begitu sangat
mengejutkanku. Aku dan bibik bergegas keluar dari rumah lewat pintu depan yang belum sempat dikunci
oleh bik Nah. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil merah menabrak pagar rumah
tetangga kami. Kap mobil itu hancur tak berbentuk lagi. Sepertinya begitu keras
tabrakan itu terjadi karena selain kap mobil itu hancur pagar yang terbuat dari
tembokpun berlubang cukup parah. Aku sempat tak percaya begitu melihat
seseorang keluar dengan tubuh tambun serta darah mengucur dari kepalanya. Dari
mobil itu sepertinya tak asing bagiku.
“itukan om Rendy.”
gumamku lirih dengan segumpal keraguan.
“iya bik, itu Om
Rendy..!!”tambahku cepat ketika aku tahu bahwa itu benar-benar orang yang aku tunjuk. Dan aku mulai sadar bahwa
dimana ada Om Rendy pasti disitu ada Ayahku. dengan perasaan was-was aku
langsung berlari secepat yang ku mampu menuju kecelakaan itu.
“Ayah…” begitu
mengejutkan. Itu benar ayahku.
“Ayah…!!!” teriakku
histeris melihat ayahku tak berdaya di dalam mobil itu. Ingin sekali aku
mendekat ke ayahku tapi om Rendy mencegahku tuk mendekat. Begitu erat Om Rendy
memelukku. Ku coba berontak, percumalah. Badan om Rendy terlalu besar untuk ku
singkirkan.
Begitu cepat kejadian itu berlangsung. Ayah dibawa cepat
dengan ambulan menuju rumah sakit terdekat. Om Rendy yang masih trauma dengan
kejadian itu dari tadi masih memelukku erat dan enggan untuk melepaskanku.
Begitu sampai di rumah sakit om Rendy menceritakan semua tentang ayah.
“ayahmu benar-benar
orang hebat. Ia rela bekerja tanpa kenal lelah demi seorang anak yang ia
cintai. Meski Om sering memarahinya tapi selalu ayahmu menerimanya dengan
lapang dada. Ayahmu selalu menemani kemanapun om pergi. Dia sosok sahabat yang
begitu baik bagi om.” Cetus om Rendy sambil menatap keatas mengenang masa yang
pernah ia lewati bersama ayahku.
“tapi kenapa ayah tak
pernah ada waktu buat aku”
“itu semua karena om.
Om yang meminta ayahmu selalu menemani kemanapun Om pergi, sampai-sampai ia
pernah tertidur di tempat umum karena kecapekan.”
Tanpa ku sadari,
mendengar cerita om, air mata jatuh dari mataku yang tak pernah menangis karena
ayah. Ternyata apa yang aku fikir selama ini tentang ayah semua salah bahkan terlalu
salah untuk menggambarkan tentang ayahku. dan aku menyesal mengatakan perkataan
yang tak pernah aku ingin katakana. Semua karena kekesalanku yang dengan bodoh
ku biarkan keluar dari bibir.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon